MAXIMUSGLADIATORPAPUA.COM – Bicara mengenai keunikan di Carstensz tidak akan ada habisnya jika kalian pernah mengunjunginya. Ada lidah es Papua yakni sebuah tempat yang berada di bawah pelana salju es antara Puncak Soemantri dan Nggapulu (Puncak Jaya). Bagian menjorok mirip lidah inilah yang tersisa setelah bagian yang lebih tinggi tidak lagi terselimuti salju khatulistiwa. Buat masyarakat adat di sekitar puncak, gunung bersalju dianggap sakral. Area ini juga menjadi habitat bagi satwa langka termasuk Dingo, anjing bernyanyi dari Papua.
Maximus Tipagau masyarakat adat Suku Moni yang mendiami Kampung Ugimba, Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Papua, mengenang salju yang memenuhi memorinya sejak kecil. “Salju ini bisa kami rasakan di kampung. Dinginnya saya bisa merasakan sampai hari ini. Setiap hari itu kami menikmati hujan es,” ujar Maximus. Dari sekian banyak puncak, ada satu puncak sakral yang dinamai masyarakat adat Moni sebagai “Gunung Somatua”. Somatua dipercaya menjadi penerang dan cahaya bagi mereka.
Somatua berasal dari bahasa setempat yang berarti terang sepanjang siang dan malam. “Kalau siang dari cahaya matahari, kalau malam dari (pancaran) es. Kalau es hilang, maka cahaya akan hilang,” ujarnya. Maximus serta masyarakat adat Suku Moni lainnya adalah satu dari beberapa suku yang tinggal di daerah pegunungan di Papua Tengah.
Kampungnya, Ugimba, adalah desa tertinggi di Indonesia yang berada di ketinggian 3.000 meter di atas permukaan laut (mdpl). Ugimba berada di sekitar tiga puncak bersalju di Papua yang merupakan puncak tertinggi antara Gunung Himalaya dan Pegunungan Andes. Ketiganya yakni Puncak Carstensz (4.884 mdpl), Puncak Sumantri (4.808 mdpl) dan Puncak Ngga Pulu atau Soekarno (4.862 mdpl). Jika ditarik garis lurus dari Ugimba ke Carstensz, jarak keduanya yakni 36 kilometer. Meski demikian, jalur pendakian bisa jauh lebih panjang dari angka tersebut.
Menurut pengakuan Maximus yang dituturkan oleh moyangnya, gunung bersalju sudah ada sejak ribuan tahun lalu. Ia mengingat momen masa kecilnya sekitar pertengahan abad 20 sembari tertawa, “Saya sering berburu kuskus (ke gunung) dengan ayah sejak usia enam tahun dan tidak pakai baju.”
Menilik ke belakang, pada 1850, luas area bersalju di sekitar Puncak Jaya sekitar 19 km2 atau seluas Bandara Soekarno Hatta di Tangerang. Hampir satu abad kemudian, menyusut menjadi 13 km2 atau dua kali luas Kecamatan Gambir di Jakarta Pusat. Pengurangan es terjadi akibat kenaikan suhu 0,6°C sejak tahun 1850 hingga pertengahan abad 20. Dalam kurun waktu hampir enam dekade setelahnya, es berkurang drastis menjadi 3 km2. Pada 2005, salju di pegunungan tropis Indonesia tinggal seluas 1,8 km2. Kini, kenaikan suhu yang kini mencapai 0,85°C per tahun mempercepat salju untuk mencair.
Maximus memanfaatkan waktu libur anak-anaknya dengan mengajak mereka mendaki gunung es tersebut. Tak hanya mendaki, namun ia juga mengenalkan sejarah gunung es yang bersalju ini. Maximus tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan di saat anak-anaknya berlibur. “Kesempatan ini bertujuan agar mereka tahu bahwa Papua itu kaya, dan ini tanah milik nenek moyang kita yang seharunya dijaga,” tutup Maximus.
Namun seiring bertambahnya pemanasan global, salju abadi Papua mulai terkikis dan akan lenyap dimakan waktu. (timgladiator).